Tergoda Tubuh Adik Iparku Yang Montok dan Berwajah Lugu

Tergoda Tubuh Adik Iparku Yang Semok Dan Berwajah Lugu

Cerita Dewasa Terbaru – Setelah sekian lama cuma jadi penikmat setia cerita-cerita bejat, akhirnya aku beranikan diri buat tuang pengalaman sendiri. Yang pasti, aku tambahin sedikit bumbu di sana-sini biar ceritanya makin ngaceng buat dibaca.

Nama aku Ardan. Istriku sekarang namanya Risa. Tapi di sini, aku enggak bakal fokus ke kami, melainkan ke adik iparku, si Vanya.

Cerita ini terjadi sekitar setahun lalu. Waktu itu aku dan Risa masih pacaran, aku udah kerja, dia masih kuliah tingkat akhir. Gaya pacaran kami lumayan ekstrem, sih. Walaupun enggak sampai penetrasi, tapi petting yang nahan CD udah jadi makanan rutin. Aku ini pria biasa yang gampang sange.

Vanya waktu itu baru lulus SMA, usianya 18 tahun, dan punya perawakan yang sungguh menggoda. Tinggi sekitar 168 cm, berat badannya mungkin 65-an kg. Agak berisi, tapi montoknya itu loh, benar-benar pas di mata. Dadanya lumayan gede, dan pantatnya itu loh, benar-benar kayak bantal empuk.

Waktu itu hari Senin sore di awal bulan Desember. Hujan baru aja reda di sekitar kompleks perumahan Cirendeu. Sehabis lembur di kantor, seperti biasa aku mampir dulu ke rumah Risa. Biasanya sih, cuma numpang makan atau ambil jatah make out kilat. Kebetulan orang tua Risa sama-sama kerja. Ayahnya itu pilot, sering banget dinas luar kota, kadang sampai seminggu baru pulang.

Aku pencet bel rumahnya. Lama banget, sekitar 15 menit baru ada jawaban.

“Bentar, Kaaaak…!” Terdengar suara lembut dari dalam.

Oh, ternyata si Vanya lagi ada di rumah. Dan sepertinya baru selesai mandi.

Enggak lama, Vanya nongol di balik pagar. Dia cuma berbalut handuk yang melilit tubuhnya. Rambutnya masih basah meneteskan air. Badannya juga masih semi-semi basah gitu. Aromanya wangi sampo dan sabun, sedikit bikin rudalku di balik celana langsung nyut-nyutan.

Pas Vanya buka pagar, dia sedikit membungkuk untuk meraih selot. Aku kaget setengah mati. Handuk yang melilit tubuhnya sedikit melorot di bagian atas. Terlihat jelas sebelahan penuh gundukan susunya yang montok. Itu pemandangan yang anjir banget!

“Masuk, Kak. Aku tadi mandi. Kak Risa sebentar lagi juga pulang, kayaknya baru beres kelas,” katanya sambil tersenyum tipis.

Aku yang sempat bengong liat asetnya, buru-buru sadar.

“Oh, iya, Lis… eh, Van. Ini, Kakak bawain ketoprak langganan kamu.”

“Waaah, asik! Bentar ya, Kak, aku bilasan yang benar dulu, takut masuk angin,” kata Vanya sambil ambil bungkusan ketoprak dari tanganku. Dia lalu berbalik dan berlalu.

Baru dua langkah, entah kenapa bungkusan ketoprak yang ada di tangan Vanya bisa lepas dan jatuh ke lantai keramik teras.

“Aduuuh…” Dia langsung panik.

Vanya buru-buru mau ambil bungkusan yang jatuh. Tapi dia ambilnya enggak jongkok. Dia langsung nungging, posisi pantatnya naik, kepalanya turun. Itu pemandangan yang fatal buat aku.

Aku yang lagi sibuk WhatsApp-an sama Risa, enggak lihat kalau Vanya lagi nungging di belakangku. Aku maju satu langkah tanpa lihat-lihat.

Duk!

Aku nabrak Vanya. Posisi rudalku yang udah tegang dan ngaceng itu pas banget kena serambi lempit-nya. Rasanya kayak doggy style kilat!

Vanya kaget dan langsung jatuh ke lantai. Dan anjir, yang bikin aku makin kaget, handuknya benar-benar tersingkap saat dia jatuh. Serambi lempit-nya terlihat jelas!

“Aduh, Van! Kamu ngapain sih kok berhenti mendadak begitu?” Aku coba alihkan perhatian, takut ketahuan kalau aku barusan ngintip serambi lempit-nya.

“Ini, ketopraknya jatuh, aku ambil. Tapi di tabrak Kakak…” Wajahnya merona merah, malu campur kesal, sambil buru-buru benerin handuknya.

Aku bantu dia berdiri. Dari situ, rudalku mulai nyut-nyutan minta ampun, benar-benar udah tegang maksimal.

Setelah dia selesai bilasan kilat dan ganti baju, Vanya keluar dari kamarnya. Dia cuma pakai baju tidur kimono berbahan satin tipis dan celana pendek sepuluh senti di atas lutut. Bahannya lumayan tipis, walaupun enggak sampai tembus pandang banget.

Aku duduk di ruang tengah, pura-pura fokus nonton TV. Tapi aku enggak fokus sama sekali. Rudalku udah pusing banget, apalagi aku udah seminggu enggak make out sama Risa karena kesibukan kerja.

Niat awal mau ke sini minta jatah Risa, tapi yang ada cuma Vanya. Aku coba tahan, sambil sebentar-sebentar pindah posisi duduk kayak orang cacingan saking gelisahnya.

Vanya yang udah asyik sama ketopraknya, duduk di lantai, agak ke sampingku. Matanya ke TV, tapi mulutnya sibuk ngemut kerupuk.

Entah pikiran aku yang udah kotor atau gimana, tapi cara Vanya makan kerupuk itu loh. Dia enggak langsung gigit. Dia emut dulu, dihisap, terus dikeluarin lagi buat ambil bumbu kacangnya. Satu kerupuk bisa dihisap berkali-kali.

Setiap Vanya keluarin kerupuk dari mulutnya, aku makin sange. Aku bayangin kepala rudalku yang keluar masuk di mulut dia. Njir.

Vanya yang sadar aku perhatiin, dia nanya, “Kenapa, Kak? Kok liatinnya begitu? Mau?”

“Eeeh, enggak. Gak apa-apa. Kamu makan kok kayak begitu, kayaknya sayang banget enggak langsung digigit.” Aku coba santai.

“Iya, abis enak bumbunya, Kak. Ini aku gigit dikit-dikit, deh.”

Saat Vanya gigit kerupuk kecil-kecil, rasanya aku makin ngilu. Itu gerakan mulutnya beneran bikin otak mesum-ku makin liar.

“Jangan bayangin macem-macem, Kak, hihihi!” Vanya ngegodain sambil ketawa.

“Yee, anak kecil!” Aku jawab ngeledek, padahal aslinya aku udah sange berat di balik celana.

Akhirnya aku ke dapur buat ambil minum, udah enggak tahan sama rasa gerah dan tegang ini. Vanya ikutin aku dari belakang, dia juga mau ambil minum.

Kebiasaan aku kalau minum emang enggak cukup cuma segelas. Aku minum langsung di depan dispenser. Tapi karena Vanya mau ambil minum juga, aku cuma mundur satu langkah.

Aku minum sambil berdiri. Vanya sambil jongkok di bawah, ambil air minum juga.

Di saat yang sama, aku mau ambil air lagi, tapi Vanya tiba-tiba berdiri.

Duk!

Punggungnya nabrak kepala aku yang udah siap membungkuk buat ambil air.

“Aduuuh…” Refleks, aku pegangan ke dispenser.

Tapi Vanya udah terlanjur berdiri. Dengan posisi setengah nungging dan aku pegangan dispenser, rudalku yang tegang menempel pas banget di belahan paha Vanya.

Aku sama Vanya diam sekitar lima detik. Aku yang kepalang nempel, menikmati banget hangatnya sentuhan selangkangan Vanya.

“Maaf, Kak, aku langsung berdiri. Permisi, Kak…” Vanya mau menjauh.

Aku yang lagi enak nempel, masih diam kayak patung.

“Kaaak…” Vanya sambil dorong pantatnya semakin rapat ke aku, seolah enggak sengaja.

Tapi karena kedorong tadi, air yang baru dia ambil tumpah sedikit di lantai. Karena lantai dapur licin, Vanya tergelincir, dan sambil terjatuh dia dorong aku.

Bruuk!

Kami berdua jatuh. Tapi yang paling njancuki adalah posisi jatuhnya: muka Vanya pas banget mendarat indah di atas rudalku! Walaupun masih terhalang celana.

Kami berdua kembali terdiam. Aku nikmat banget karena rudalku tertekan bibir Vanya, kayak bantal daging.

Vanya kaget karena dia merasakan sesuatu yang kenyal tapi panjang di wajahnya.

“Maaf, maaf…” kata aku.

“Aduh, Kak, jadi jatuh begini…” Vanya panik.

Kami buru-buru bangun dan balik ke depan TV. Tapi aku lihat Vanya agak sedikit pincang jalannya.

“Kenapa kakinya? Sakit tadi jatuh?” Aku tanya.

“Iya, kayak salah pijakan tadi,” katanya sambil menunjuk bagian belakang paha, hampir ke lutut.

“Sini, coba Kakak lihat.” Aku yang masih ngaceng setengah mati coba cari cara biar bisa tenang.

Aku udah tau seluk-beluk rumah ini, aku langsung ke kotak obat. Maksud aku mau cari minyak urut, tapi yang aku dapat cuma minyak kayu putih.

“Coba diurut dikit,” kata aku sambil suruh dia tengkurap di sofa.

Sambil pijat paha, Vanya mulai mendesah kecil. “Ehm… uuhh… aahh…”

Aku coba naikin pijatan. Dari yang tadinya cuma di paha, naik terus ke pangkal paha.

Aku lihat di bagian serambi lempit-nya basah. Aku bingung, padahal air yang tumpah tadi cuma sedikit, tapi kenapa bagian itu basah banget. Anjir, ini bukan air!

Aku memberanikan diri buat naik ke pantat-nya. Vanya diam aja, malah tambah desahannya.

“Uuh… enak, Kak… teruss…”

Aku pijitin sekitar lima menitan. Lama-lama, ada suara dengkuran tipis. Aku berhenti mijat buat mastiin Vanya udah tidur.

Aku yang udah setengah kentang, coba pegang pas di serambi lempit-nya. Dan ternyata benar, itu cairan nikmat dari dia. Sialan, dia sange juga.

Aku tambah berani buat pegang toketnya. Dia cuma “Hmmhhm…” sambil pindah posisi jadi terlentang.

Aku udah terlanjur sange. Aku copot celana aku sebatas paha, dan keluarin rudalku.

Tangan Vanya aku arahin ke rudalku buat ngocokin. Tapi aku yang gerakin. Aku enggak berani berbuat lebih jauh.

Sambil tangan yang satu lagi, aku grepe toket Vanya lembut dari luar bajunya.

Lagi enak-enaknya dikocokin, aku percepat gerakannya.

“Uuh… aahh…” Aku sambil tahan. “Aahh… kocokin terus, Van… enak… aaahh…” Aku udah meracau sendiri sambil merem melek.

Aku udah enggak kuat. Dan akhirnya, Crooot! Crooot! Crooot! Sekitar enam semburan kental keluar, pejuku mendarat di telapak tangan Vanya.

Dan pas banget, saat itu juga, si Risa mencet bel rumah.

Aku langsung kelabakan. Lari ambil tisu buat tangan Vanya sama rudalku. Langsung pakai celana aku dan keluar buat buka pintu Risa.

“Iya, Sayang… Aku cari kunci dulu!” Aku pura-pura acak-acak kunci padahal buat ulur waktu.

Setelah aku bukain pagar.

“Kamu udah lama, Ay?” tanya Risa.

“Bbelum kok…”

“Kamu kenapa? Kok keringetan gitu?” Risa heran lihat aku.

“Gak apa-apa, kok. Gerah aja.”

Masuk dia, Risa langsung lihat Vanya yang tidur pulas di sofa.

“Van, bangun! Tidur di kamar sana!”

“Hmmm… hmmmm… hmmm… iiya…”

Nyawa Vanya yang belum kumpul, langsung usap muka pakai tangan yang tadi bekas tempat aku buang peju.

Aku lihat muka Vanya kayak muka aneh gitu. Mungkin karena masih ada sisa-sisa peju di tangannya.

Vanya langsung jalan ke wastafel dengan penuh tanya, sambil diliat-liat tangannya.

Aku yang deg-degan bukan main karena takut Vanya bilang atau minimal teriak, “Kok tanganku bau peju ya”.

Bisa berabe urusannya!

BERSAMBUNG

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *